Seorang Karim | Oleh: Mustainah (27/09/2024)
SEORANG KARIM
Oleh : Mustainah
(Panitera Pengganti PA Sengeti)
Wajah magrib itu tiba, dia seorang lelaki besar dengan sorot mata yang datar. Langkahnya berayun meninggalkan jejak melalui alas sendalnya. Murung, entah apa yang tertumpu dipikiran lelaki itu. Sekejap geraknya mulai latah menyusuri lorong-lorong jalanan tikus. Tanpa arah tanpa tujuan. Dia hanya mengikuti irama yang ingin ia pijak. Matahari dipertengahan, suara adzan zuhur berkumandang. Sesaat lelaki itu berhenti mendongak pada sebuah masjid yang tak jauh dari pijakannya. Matanya mulai berputar mendapati dirinya terpantul dalam genangan air selepas hujan. Sedetik kemudian barulah ia tau, kali ini dia benar- benar sendirian, tidak ada yang mengenalnya disini. Lelaki itu memutarkan lagi bola matanya keatas, disana awan menumpuk tebal tanpa bentuk yang sempurna. Suara ini tidak asing, hatinya mulai berdenyut, sesuatu mendorongnya untuk mendekat. Jiwa lelaki itu terpanggil kembali setelah sekian lama duniawi menarik dirinya menjauhi sang Khaliq.
Masjid kecil dan sedikit bobrok. Dia beranjak untuk berwudhu. Celana panjangnya disekap hingga lutut. Air wudhu mulai membasuh wajahnya. Lelaki itu tanpa sadar terisak, air matanya tumpah. Dia menyadari rukun wudhu yang dulu ia hapal mulai terlupa. Wajahnya mengeras mencoba mengingat lagi. Hingga akhirnya seseorang datang dan menyadari masalah lelaki itu dan bersegera membantu. Cukup canggung dengan hati yang kalut. Bibirnya bergerak membaca niat shalat dengan perlahan. Kedamaian mulai merasuki jiwanya. Terasa tenang, suara merdu imam sholat terdengar sedikit berbisik. Kedamaian yang telah lama dia cari kini dia temukan. Air mata menetes lagi. Suara isakan tak terkendali menyusuri ruangan. Dicurahkannya beban yang dipikul bersamaan dengan sujud akhir. Lelaki yang dulunya terkenal penuh wibawa itu ciut dihadapan Tuhannya. Dia tak sombong lagi seperti dahulu, dirinya bahkan linglung tak tau apa yang masih bisa ia banggakan.
Badannya terus membungkuk, bersimpuh serendah-rendahnya. Tangisnya pecah, menangisi dirinya sendiri. Orang-orang bergantian menatap penuh iba. Pasti sakit sekali, bagaimana mungkin lelaki sepertinya menangis tanpa henti? Apa yang terjadi? Mungkin demikian sahutan orang-orang yang mendengar. Setelah shalat usai, lelaki itu masih enggan untuk pergi. Dia menetap dengan telapak tangan yang basah menutupi wajah, sedangkan yang lain memilih bubar dengan aktivitas di tempat lain. Seseorang menepuk pundaknya pelan. Tak berhenti, lalu mengusap- usap selayaknya memberi energi pada lelaki itu.
“Assalamu’alaikum pak!” salam orang itu. Lelaki memutar posisinya berhadapan. Ternyata dia orang yang membantunya melaksanakan wudhu.
“Wa’alaikumsalam… ” jawabnya sembari menghapus air mata.
“Bapak, ada yang bisa saya bantu? Kenapa sedih sekali!” orang itu tersenyum, lalu lelaki membalas senyumnya berat.
“Oh tidak pak, saya hanya sedih sedikit” dia berbohong.
“Begitu pak?! Bapak sudah makan? Mari ke rumah saya, alhamdulillah tadi ada rezeki, istri saya masak banyak”
“Tidak pak, tidak terimakasih merepotkan bapak” tolak lelaki halus.
“Wah bapak tidak usah sungkan, saya pak Ahmad warga kampung sini. Ayo mari pak!” Ahmad memaksa untuk mengikutinya, akhirnya lelaki pasrah.
Tidak terlalu jauh dari masjid, didapati rumah sederhana dengan tanaman yangasridihalamannya,iturumahAhmad.Segera Ahmadmempersilahkanlelaki itu masuk, dan benar saja makanan telah tersedia di atas tikar rotan. Adam dan Hawa,duaanakkembarAhmadyangberhamburanberlarimemelukayahnyapenuh cinta. Melihat itu mata lelaki mulai berair.
“Ayo dimakan, maaf seadanya pak”
“Tentu pak, tidak masalah” mereka mulai menikmati makan siang diselangi obrolan ringan.
“Oh jadi pak Karim ini dulunya pemilik gedung di pertigaan desa sebelah itu?” sebut Ahmad memperjelas status lelaki yang bernama Karim di depannya.
“Begitulah pak, tapi itu sudah lama sekali, saya sudah jual semuanya, mereka tidak berharga lagi bagi saya. Ya bagaimana ya pak, karena mereka semua, saya tamak. Saya tinggalkan akhirat saya. Perintah agama saya kesampingkan, saya merasa telah pergi dari Tuhan saya tarlalu jauh. Sekarang saya sebatang kara, anak istri saya memilih pergi meninggalkan saya. Itu karena harta sialan itu pak. Mereka butakan mata dan hati saya!” lantang Karim terisak penuh penyesalan.
“Memang, awalnya semua terlihat baik, saat istri dan anak saya kabur dari rumah, hidup saya masih terasa damai, tidak ada yang berubah. Saya gencar dalam perjudian, taruhan apa saja saya ikuti. Dosa saat itu adalah hiburan bagi saya”
“Tapi sekejap sirna pak, hati saya sakit, jiwa saya meronta, saya rindu sekali dengan istri dan anak saya. Saya cari mereka keseluruh penjuru. Saya telusuri satu-persatu dengan kaki saya sendiri, tapi nihil. Mereka benar-benar menghilang dari pandangan saya. Sakit sekali pak, sungguh sakit sekali! Saya sangat rindu pak, saya ingin peluk anak-anak saya” sambung Karim pilu.
“Baik pak, tenang pak Karim, Allah pasti bantu. Mungkin semua itu ganjaran atas pebuatan bapak di masa lalu, saya paham bapak sangat menyesal. Solusi terakhir yang bisa saya berikan adalah dengan terus bertawakal kepada Allah, terus berhusnudzon dengan ketetapan Allah dan jangan memfitnah Allah dengan berburuk sangka. Bapak perlu memperbaiki diri. Saya yakin, dengan izin Allah, bapak akan dipertemukan dengan keluarga bapak” Ahmad memdoakan Karim.
3 Bulan berlalu, hilal kedatangan istridananak belum juga muncul. Karim tidak menyerah, dia masih sesekali berkelana mencari sosok kerinduannya itu. Segala upaya, brosur dan surat kabar lainnya di sebar luas. Doa yang penuh penyesalan dan tekad menjadi lebih baik, tak lepas dalam benaknya. Karim yakin satu hal yang pasti, dia percaya istri dan anaknya akan kembali.
Karim mengeluh, kakinya letih. Dia sudah berjalan dari ufuk kemarin. Saat ini genap sewindu Karim hidup sebatang kara. Sanak saudara, dia dan kakaknya, yaitu saudara kandung satu-satunya sudah lama pindah dari kota itu. Sedangkan dari pihak istri, mereka enggan untuk berhubungan dengannya lagi. Karim sesekali mengunjungi Ahmad yang siap menyambutnya dan mendengar keluh-kesahnya. Ahmad selalu baik dan Karim dituntunnya menjadi hamba yang lebih taat. Tiba- tiba dering telpon genggamnya berbunyi, nomor tak dikenal tertera pada layar. Karim mengangkatnya, suara muda diseberang sana menyahut.
“Assalamu’alaikum pak”
“Wa’alaikumsalam ini siapa?” Karim tampak bingung.
“Pak, Andi pak, anak bapak” sontak Karim terkejut, Andi anak sulungnya yang sudah lama pergi menelponya, Karim menangis.
“Andi? YaaAllah nak .. Mana ibumu? Bapak mau minta maaf nak, bapak rindu ingin bertemu kalian, tolong maafkan bapak, jangan siksa bapak seperti ini, bapak janji akan berubah lebih baik!”
“Bapak…”
“Bapak…” Andi mulai menangis.
“Bapak tolong maafkan ibu ya, ibu sudah tidak ada. Ibu meninggal. Kata dokter, neuroplastisitas di wilayah otaknya menyebabkan beberapa gejala dan mulai memperparah kondisi tubuh ibu. Ibu mulai emosian, moodnya cepat berubah dan sering menyakiti dirinya sendiri. Ibu sakit karena depresi pak, ibu berteriak seperti orang gila”
“Apa?! Kamu kenapa tidak beritau bapak?”
“Maaf pak, ibu marah jika tau Andi menelpon bapak. Ibu takut Andi mencontoh kelakuan bapak” Karim terpukul mengetahui alasan istrinya memilih melarang anaknya untuk bertemu. Dia tidak dapat membantahnya, itu memang benar.
“Ya Allah ini salahku, apa yang telah aku perbuat?” keduanya menangis dalam telepon.
Penantian Karim selama ini kandas, kerinduannya dan keutuhan rumah tangga yang selama ini ingin dibangun kembali berujung pada petaka. Istrinya memilih pergi tanpa memberikan ampunan dari perilakunya di masa lalu, Karim menyesal. Mengapa sosok yang telah dipilihnya untuk menua bersama tampak asing baginya dahulu, mengapa dia memilih untuk tidak menghiraukan kebahagiaannya. Apalagi yang harus dia lakukan untuk membawanya kembali? Raga telah terkubur, dan jiwa pergi menuju Rabb-Nya.
Ujiannya terlalu berat. Beban kerinduan itu mencakarnya dalam kalbu. Bagaimana lagi dia harus berpijak. Bahkan sanggahannya saja tak memberi maaf.
NOTE : Para pembaca yang budiman, orang yang saat ini berada disisi kita hingga tua nanti, hingga memutih rambut, hingga membungkuk badan. Maka cintailah dia dengan cinta saat kamu menemukannya. Dia rezekimu, Allah hadiahkan dia untukmu. Jika kamu bosan dengan wujudnya, ingatlah bagaimana kamu bisa mencintainya dahulu.