Wali Nikah Dari Saudara Ibu, Dapatkah Dibenarkan? | Oleh: Rijlan Hasanuddin (13/09/2024)
WALI NIKAH DARI SAUDARA IBU, DAPATKAH DIBENARKAN?
Oleh: Rijlan Hasanuddin
Latar Belakang
Perkawinan adalah salah satu syariat yang sangat indah bagi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalil disyari’atkannya nikah adalah sebagai berikut:
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).
Sementara itu, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Terdapat banyak maslahat dalam syariat perkawinan bagi umat manusia seperti menjaga diri dari perbuatan zina, menjaga kehormatan, kesucian dan juga keturunan. Maka dari itu, agama Islam sebagai agama yang sudah mengatur segala hal dengan detail, juga telah mengatur syariat perkawinan. Adanya syariat yang mengatur, tujuannya hanyalah untuk memberikan kemudahan bagi umat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Al-Baqarah/2: 185).
Selain dari pelaksanaan pernikahan menurut Islam, pernikahan tersebut juga harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk menyempurnakan administrasi kependudukan sehingga Pegawai Pencatat Nikah harus menerbitkan suatu akta dari pernikahan tersebut, sesuai dengan tuntutan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Walaupun undang-undang dan peraturan sudah menegaskan demikian namun sampai sekarang masih banyak dikalangan masyarakat yang pernikahannya tidak tercatat di Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan berbagai problematikanya, sehingga perkara isbat nikah merupakan solusi bagi mereka yang perkawinannya tidak tercatat.
Dalam pemeriksaan perkara isbat nikah di peradilan agama, posisi wali menjadi salah satu sorotan untuk dapat diterima perkara isbat nikah yang diajukan, untuk itu penulis akan menguraikan pandangan tentang posisi kedudukan wali dari saudara ibu dalam perkara isbat nikah.
Syarat Syahnya Perkawinan
Perkawinan adalah sebuah hubungan yang dibangun di atas akad dan setiap akad harus memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam Islam terdapat 5 rukun perkawinan yaitu:
- Calon pengantin pria, yang memiliki persyaratan seperti: beragama islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin).
- Calon pengantin perempuan, yang memenuhi persyaratan seperti tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa iddah dari pernikahannya dengan orang lain.
- Wali, rukun ini disebutkan di dalam hadis sahih:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْن
“Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558)
Sedangkan syarat-syaratnya adalah: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asobah) untuk seorang perempuan.
- Dua orang saksi, dimana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahan sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi).
- Ada ijab dan qabul, yaitu akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan qabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apapun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu).
Sebuah akad nikah dikatakan sah jika memiliki 5 syarat berikut:
- Ta’yin Az Zaujain, menyebutkan secara pasti individu pasangan yang dinikahkan, bukan dengan ungkapan yang membuat ragu. Tidak boleh wali nikah hanya mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya”, padahal ia memiliki banyak anak. Harus disebutkan secara pasti anaknya yang mana yang ia nikahkan, dengan menyebutkan namanya. Misal dengan mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya, Aisyah”, ini sah.Tidak boleh juga sekedar menyebutkan: “saya nikahkan anda dengan anak saya yang besar (atau yang kecil)”, yang memungkinkan salah paham.
- Adanya keridhaan dari kedua mempelai
- Adanya wali, Sebagaimana hadits
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal” (HR. Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh As Suyuthi dan Al Albani)
- Adanya saksi. Berdasarkan hadits Imran bin Hushain secara marfu‘:
“tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. Ibnu Hibban, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Adz Dzahabi)
- Tidak terdapat hal yang menghalangi keabsahan nikah, atau dengan kata lain, kedua mempelai halal untuk menikah. Hal-hal yang menghalangi keabsahan nikah misalnya: keduanya termasuk mahram, masih ada hubungan saudara sepersusuan, beda agama, kecuali jika mempelai suami Muslim dan mempelai wanita dari ahlul kitab maka dibolehkan dengan syarat wanita tersebut afifah (wanita yang menjaga kehormatannya) dan/atau sang wanita masih dalam masa iddah.
Pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Keabsahan perkawinan ini dipertegas lagi dengan pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Sumber Hukum Materil Peradilan Agama
Tentunya dalam berbagai persoalan terkait perkawinan di Pengadilan Agama terdapat hukum yang menjadi rujukan dalam pemutusan perkara. Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:
- Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.
- Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 Februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Dalam surat Biro Peradilan tersebut di atas dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain 1. Al-Bajuri 2. Fatkhul Mu’in 3. Syarqawi ‘Alat Tahrir 4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali 5. Fatkhul wahbah 6. Tuhfah 7. Targhib al-Mustaq 8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya 9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah 10. Syamsuri li Fara’id 11. Bughyat al-Musytarsyidin 12. al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah 13. Mughni al-Muhjaj.
Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung di dalamnya bukan merupakan hukum tertulis sebagaimana perundang-undangan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Bagi yang berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi pedoman PA masih dianggap sebagai hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. hal ini di legalisasi dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
- Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo UU No. 16 Tahun 2019.
- PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974.
- PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
- UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU No. Tahun 2009.
- Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
- UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
- UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
- PP No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
- UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
- UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Berdasarkan sumber hukum materiil itulah setiap perkara yang terkait diputuskan, termasuk perkara wali nikah dari pihak ibu. Berikut penulis memulai dengan mengulas tentang wali nikah menurut berbagai sumber dan dalam hukum materiil pengadilan agama.
Wali Pernikahan
Salah satu rukun nikah yang mana tanpanya pernikahan tidak sah adalah keberadaan Wali. Wali/wilayah secara bahasa Arab artinya, “menolong” dan “berkuasa” atau pun “mencintai”. Sedangkan di dalam istilah syar’i atau fikih, wali/wilayah artinya, “kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang terhadap manusia ataupun benda, untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri, tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.”
Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb menjelaskannya sebagai berikut,
أولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم
“Wali paling utama ialah ayah, kemudian kakek (ayahnya ayah), kemudian saudara laki-laki seayah seibu (kandung), kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (kandung), kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka hakim.”
Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa yang berhak menjadi wali nasab adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Syuja’ rahimahullah itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah:
- Ayah kandung;
- Kakek yang dimaksud dalam hal ini adalah kakek dari pihak ayah;
- Saudara laki-laki kandung. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita se-bapak dan se-ibu, baik kakak maupun adik;
- Saudara laki-laki seayah. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita dari ayah yang sama, namun beda ibu;
- Anak saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan);
- Anak saudara laki-laki seayah;
- Paman yang dimaksud di sini adalah saudara laki-laki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (Bahasa Jawa: pakde), ataupun lebih muda (Bahasa Jawa: paklik), dengan memprioritaskan yang paling tertua di antara mereka;
- Anak laki-laki paman dari pihak ayah (sepupu);
- Jika ternyata semua pihak keluarga (wali nasab) di atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali adalah wali hakim.
Selanjutnya, jika kita merujuk kepada sumber hukum materil peradilan agama dalam hal wali nikah maka kita temukan ada di dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bagian ketiga tentang wali nikah pada pasal 19 hingga pasal 23 yang pada intinya wali dalam pernikahan adalah laki-laki dari pihak ayah calon mempelai wanita dan bukan saudara seibu atau dzaw al-arham lainnya atau dengan kata lain hak wali merupakan hak‘ashabah sebagaimana menyerupai hak waris.
Disamping itu juga kita bisa menemukan sumber hukum lainnya yaitu Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh yang telah disebutkan di atas, salah satu kitab yang penulis temukan pembahasan tentang wali nikah terdapat dalam kitab al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah, yang memaparkan pendapat empat imam mazhab tentang wali nikah.
Di dalam kitab al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah tentang wali nikah, kita temukan bahwa pendapat mazhab imam hanafi berbeda sendiri dalam hal wali nikah dimana dalam pendapatnya membolehkannya saudara ibu menjadi wali nikah.
Wali Nikah dari saudara Pihak Ibu dalam perkara itsbat nikah
Sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa yang berhak menjadi wali nikah adalah laki-laki dari pihak ayah calon mempelai wanita. Jika tidak ada sama sekali maka diwakilkan kepada wali hakim sebagai alternatif terakhir. Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama, atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Apabila kita merujuk kepada sumber hukum materil peradilan agama maka pendapat yang tidak membolehkan wali dari saudara pihak ibu terdapat dalam sumber hukum tertulis yaitu Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bagian ketiga tentang wali nikah, sedangkan pendapat yang membolehkan wali nikah dari saudara pihak ibu terdapat dalam sumber hukum tidak tertulis yaitu pendapat mazhab hanafi dalam kitab al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah.
Dengan eksistensi dua pendapat yang berbeda dalam menanggapi status wali nikah dari saudara pihak ibu dalam pemeriksaan perkara itsbat nikah sebagai varian pendapat yang bisa kita sajikan dalam menangani perkara itsbat nikah dalam rangka mewujudkan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan putusan bagi masyarakat pencari keadilan.
Referensi
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 147
Hotnidah Nasution, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), hal. 189
Muhammad Idris, Lc, “Fikih Nikah (Bag 1)”, Muslim.or.id, Januari 17, 2022, https://muslim.or.id/71772-fikih-nikah-bag-1.html
Muhammad Idris, Lc, “Fikih Nikah (Bag 2)”, Muslim.or.id, Januari 17, 2022, https://muslim.or.id/71774-fikih-nikah-bag-2.html
Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas, “Islam adalah Agama yang Mudah”, Almanhaj.or.id, https://almanhaj.or.id/2219-islam-adalah-agama-yang-mudah.html
Ustadz Yulian Purnama, “5 Syarat Sahnya Akad Nikah”, Muslimah.or.id, September 9, 2015, https://muslimah.or.id/6825-5-syarat-sahnya-akad-nikah.html
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, “Hukum Menikah”, Rumaysho.com, Agustus 4, 2012, https://rumaysho.com/2723-hukum-menikah.html