Mari Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar di dalam BAS dan Putusan (Sulistianingtias Wibawanty, S.H., M.H)
MARI BERBAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR
DI DALAM BAS DAN PUTUSAN
Oleh: Sulistianingtias Wibawanty, S.H., M.H.
Berita Acara Sidang (BAS) dan Putusan merupakan “makanan” sehari-hari bagi kita warga peradilan, khususnya para panitera/panitera pengganti dan para hakim. Saking terbiasanya para panitera pengganti dan para hakim membuat berita acara sidang dan putusan, para hakim dan panitera pengganti seringkali mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di dalam BAS seringkali ditemukan pemakaian bahasa dan kata-kata yang tidak baku bahkan terkadang bahasa daerah juga muncul. Hal ini tentunya menimbulkan keprihatinan bagi kita mengingat Berita Acara Sidang dan Putusan merupakan akta autentik yang harus menggunakan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pernah salah seorang hakim agung bercerita di dalam sebuah acara pembinaan yang penulis pernah ikuti, dimana saat itu beliau menyampaikan pernah memeriksa berkas perkara kasasi yang di dalam BAS dan putusannya terdapat kosa kata berbahasa daerah yang sulit dipahami oleh hakim tersebut, dan setelah ditanyakan kepada hakim lain yang kebetulan memang berasal dari daerah yang sama dengan tempat perkara tersebut barulah diketahui maksudnya, dan ternyata kata tersebut ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kebingungan hakim agung ini tentunya tidak akan terjadi jika BAS dan Putusan tersebut menggunakan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain itu, penggunaan kosa kata yang tidak baku juga seringkali ditemukan di dalam BAS dan Putusan, dan ironisnya lagi kita sering tidak mengetahui bahwa kosa kata yang kita gunakan tersebut bukanlah kata yang baku di dalam kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berapa banyak dari kita yang mengetahui jika kata-kata “hutang, nasehat, isteri, materai, resiko, photocopy, azas” itu tidak baku, dan yang baku adalah “utang, nasihat, istri, meterai, risiko, fotokopi, asas”. Bukan hanya di dalam BAS atau Putusan saja kata-kata tidak baku tersebut digunakan, banyak juga di dalam surat-surat penting, papan pengumuman, brosur-brosur serta artikel-artikel resmi lainnya menggunakan kata-kata tersebut sehingga terasa lazim dan benar.
Kesalahan penggunaan imbuhan dan kata depan di dalam kalimat juga seringkali ditemukan. Sebagai contoh, kata “di” di dalam kata “di rumah” adalah kata depan yang penulisannya dipisah, sedangkan kata “di” di dalam kata “dibuat” adalah imbuhan yang penulisannya digabung. Terkesan hal sepele namun kesalahan penulisannya bisa mengubah artinya, contohnya kata “kemeja” dan “ke meja” memiliki arti yang berbeda bukan?
Begitu juga untuk penulisan kata-kata yang diambil dari bahasa asing yang seharusnya ditulis dengan huruf yang dimiringkan seperti penulisan kata “niet onvankelijk verklaard, notoir feiten” dan lain-lain, serta masih banyak lagi kesalahan penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang seringkali luput dari perhatian kita. Entah karena kita lalai, atau karena kita kurang update dengan perkembangan kaidah bahasa Indonesia.
Bahasa apapun di dunia ini termasuk bahasa Indonesia senantiasa dinamis dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Saat kita masih bersekolah dulu dan menerima pelajaran bahasa Indonesia, kita pasti tidak asing dengan istilah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Pedoman EYD mulai digunakan sejak tahun 1972 yang dijadikan sebagai acuan kita dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Setelah lebih dari empat dekade menjadi pedoman, saat ini EYD sudah berganti menjadi PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) sejak tanggal 26 November 2015, dimana hal yang melatarbelakangi lahirnya PUEBI adalah untuk menyikapi kemajuan teknologi seiring kemajuan zaman dan untuk memantapkan fungsi dari bahasa Indonesia itu sendiri, dimana penulis kutip dari berbagai sumber, fungsi bahasa Indonesia yaitu sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, bahasa komunikasi tingkat nasional, bahasa media massa, serta bahasa pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa resmi pembangunan kebudayaan.
Kembali kepada BAS dan Putusan, Mahkamah Agung dalam upayanya untuk meningkatkan mutu BAS dan Putusan telah memberikan panduan untuk dipedomani dalam membuat BAS dan Putusan yang sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Badan Peradilan Agama pernah menyusun Format Bas dan Putusan, dan terakhir dengan terbitnya Surat KMA Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tanggal 16 Desember 2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung. Upaya-upaya ini tentunya sangat membantu para tenaga teknis Mahkamah Agung khususnya para panitera pengganti dan para hakim dalam membuat BAS dan Putusan.
Penggunaan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar di dalam BAS dan Putusan adalah suatu keniscayaan dan harus selalu ditingkatkan dengan cara selalu meningkatkan kemampuan dan memperbaharui pengetahuan tentang kaidah berbahasa Indonesia. Jangan sampai bahasa Indonesia yang sekarang telah menjadi bahasa resmi Konferensi Umum UNESCO sejak 20 November 2023, justru tidak diterapkan dengan baik dan benar di dalam BAS dan Putusan yang notebenenya merupakan akta autentik. Mengutip perkataan dari pengarang terkenal Indonesia Pramoedya Ananta Toer, “tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri”. Jadi, mari kita mengenal bangsa kita sendiri dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar di dalam BAS dan Putusan kita. Wallahu a’alam bishawab.