Aku Menghilang Untuk Menemukan Jati Diri ( Angga Setiawan Rahardi, S.H., M.H )
AKU MENGHILANG UNTUK MENEMUKAN JATI DIRI
“Jujur pada diri sendiri, masuklah jauh kedalam kekosongan jiwa kita,
sampai pada akhirnya kita berkata bahwa “aku bukanlah aku”,
adalah awal dari pengenalan jati diri” –Angga Himura-
Menjadi manusia itu takdir, menjaga kemanusiaan itu pilihan. Betapa serius Sang Pencipta menciptakan manusia di muka bumi ini, bahkan secara retoris Allah menegaskan “Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main saja (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”(QS Al-Mu’minum 115)
Sungguh kita sebagai manusia sangat di istimewakan oleh Allah Sang Pencipta dengan aneka potensi yang begitu lengkap dan unggul dari makhluk lainnya, puncak keistimewaan itu adalah status kita sebagai manusia sebagai Mukhayyar, makhluk yang terpilih untuk memilih. Makhluk yang diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup, cara hidup, dan pola hidup sendiri.
“mengenal diri sendiri adalah awal dari kebijaksanaan”
-Marcus Aurelius-
Manusia merupakan mikrokosmos alam semesta atau unsur terkecil dari alam semesta yang artinya semua unsur yang terkandung di alam semesta, terkandung pula di dalam tubuh manusia seperti besi, tanah, air, udara, listrik, dan lain-lain. Setiap manusia memiliki keterikatan, sehingga ketika kita telah mampu mengenal diri kita sendiri, mampu menemukan arti hidup kita sebagai manusia, maka kita akan memiliki tujuan dan akan lebih mengerti tentang orang lain.
Manusia itu bukanlah makhluk spesial karena manusia memiliki keterbatasan dan terbatas terhadap segala hal. Tapi manusia adalah makhluk yang unik, yang memiliki kemampuan serta pemikiran yang berbeda-beda. Namun terkadang hanya karena alasan ingin eksis dan dipandang orang lain kitapun rela berusaha menjadi seperti orang lain, hanya karena ingin dianggap pintar kitapun rela mengikuti cara pandang dan cara berpikir orang lain, hanya karena ingin mencapai sesuatu kitapun rela melepaskan harga diri dan identitas kita.
“Manusia itu terbatasi oleh pengalamannya sendiri”.
-Enrichment-
Betapapun canggih dan cerdas seseorang, tetap saja kita hanyalah manusia yang memiliki keterbatasan-keterbatasannya sendiri, ruang hidup yang terbatas serta durasi hidup kitapun terbatas. Kemampuan berkembang manusia hanyalah berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah di alaminya.
Anekdot dari ranah tasawuf yang sangat terkenal tentang Rabi’ah Al Adawiyah dan Hasan Al-Basri bercerita seperti ini :
Suatu ketika, Rabi’ah kehilangan kunci di rumahnya. Namun saat itu lampu di rumah Rabi’ah sedang mati, sehingga gelap gulita lah rumahnya. Karena kegelapan itu, Rabi’ah kesusahan untuk menemukan kuncinya yang hilang. Akhirnya Rabi’ahpun keluar ke halaman rumahnya yang lebih terang untuk mencari kuci tersebut. Saat itu lewatlah Hasan Al-Basri, salah satu orang sahabatnya yang juga seorang sufi, yang kemudian menegurnya. “Wahai Rabi’ah, apa yang sedang kamu lakukan”?
“Aku mencari kunciku yang hilang”. Jawab Rabi’ah
“Di halaman bagian mana kuncimu hilang”? tanya Hasan Al-Basri
“Di dalam rumah”. Jawab Rabi’ah
“Kamu itu lucu, balas Hasan Al-Basri sambil tertawa. “Kuncimu hilang di dalam rumah, tapi kamu mencarinya di luar rumah.”
“Di dalam rumahku gelap, aku tidak bisa mancari kunciku yang hilang, maka aku mencari di luar rumahku yang lebih terang dan memiliki cahaya, supaya keberadaan kunci itu terlihat.” Jawba Rabi’ah.
“Hasan Al-Basri menjawab, kalau kuncimu hilang didalam rumah dan rumahmu gelap, maka buatlah rumahmu menjadi terang, agar kau mampu menemukan kuncimu didalam rumah.”
Anekdot itu mengajarkan kita bahwa untuk menemukan terang di luar diri saat diri kita mengalami kegelapan, agar pada saatnya kita mampu membuat terang bagian dalam diri kita. Sebagaimana saran Hasan Al-Basri, hanya dengan terang dalam diri itulah “kunci” yang selama ini kita cari akan dapat kita temukan.
Terkadang kita sebagai manusia menjalani hidup dan melakukan sesuatu tanpa mengetahui apa tujuan, apa dampak yang akan kita hadapi nantinya, apakah hal itu relevan dengan peran dan kapasitas diri kita saat ini.
Hidup Unseen-Tidak DIkenal
Belajar dari prinip hidup atau motto Rene Descartes seorang inisiator lahirnya filsafat modern, yang memiliki gagasan mencari kebenaran dengan memasukkan logika matematika kedalam filsafat, bahwa dia berkata “i desire to live in peace and to continue the life i have begun under the motto to live well you must live unseen”. Untuk hidup dengan baik, maka anda harus hidup unseen-tidak dikenal. Menurutnya, ketika kita berada diantara banyak orang, kita selalu merasa harus mencocokkan banyak hal dengan orang lain. Dan itu akan membuat kita mengalami kebingungan, kehilangan jati diri, dan tidak punya waktu untuk berefleksi.
“Lho, bukankah kita ini manusia sebagai makhluk sosial?”
“Lho, bukankah manusia itu memiliki keterkaitan satu sama lain?”
“Lantas, bagaimana kita harus hidup tidak dikenal?”
“Apa kita harus hidup dihutan, menyendiri seperti tokoh “tarzan”?”
Mungkin itu beberapa pertanyaan dari kita tentang motto hidup dari seorang Rene Decartes. Tapi, menurut pemahaman saya bahwa kita sebagai manusia memang hidup harus berdampingan dengan orang lain, membutuhkan orang lain, tidak bisa hidup sendiri dengan tidak dikenal orang lain, kita butuh untuk bersosialisasi. Hidup unseen ala Rene Descartes yang saya tangkap adalah bahwa hidup menjadi orang biasa itu lebih menyenangkan dan membawa ketenangan, kita tidak dilarang memiliki keinginan dan mimpi tapi kita tidak harus memberitahukan kepada semua orang tentang keinginan dan mimpi-mimpi kita.
Dengan memanggap bahwa diri kita bukanlah siapa-siapa, tidak terkenal dan tidak dikenal orang, maka kita akan bisa lebih fokus dan santai dalam menggapai keinginan dan mimpi-mimpi kita tanpa terpengaruh oleh “pedasnya” komentar-komentar orang lain.
Analoginya seperti ini :
“Ketika kita bekerja, semisal sebelum berangkat bekerja kita sudah membayangkan situasi kantor dan orang-orang disekitar kita, kita sudah memikirkan harus pakai baju apa, jam merk apa yang harus kita pakai, sepatu dari italy atau dari cibaduyut yang cocok dipakai hari ini, lipstik warna apa yang harus kita pakai, jilbab keluaran tahun berapa yang akan kita pakai, apa yang harus kita kerjakan hari ini agar dilihat atasan dan mendapatkan penilaian atasan, kita selalu berusaha menata dan mengatur macam-macam hal tentang diri kita agar kita dinilai oleh orang-orang disekitar kita karena kita “berpikir” kita dikenal oleh semua orang dikantor kita. Semisal lagi, kita bertemu dengan teman yang suka berkomentar jelek pada kita, maka kita akan mengerahkan semua ilmu strategi untuk menghadapi komentarnya. Masalahnya akan berbeda ketika kita pergi kepasar tradisional yang disana tidak ada seorangpun yang kita kenal dan mengenal kita, maka secara otomatis kita akan lebih santai dan rileks, serta mampu menjadi diri kita sendiri dengan tidak memikirkan orang lain.”
Hidup tidak dikenal itu enak dan lebih santai, kita akan lebih kreatif dan inovatif dalam merefleksikan potensi diri. Dari analogi diatas, kita tidak harus hidup menyendiri di hutan amazon menjadi seorang tarzan. Tapi kita hanya perlu melepaskan dan menghilangkan diri kita dari pandangan-pandangan orang lain tentang kita, sehingga kita bisa lebih jujur pada diri sendiri tentang apa yang kita butuhkan, tentang siapa kita, tujuan kita, langkah yang harus kita lakukan.
Meminjam kata-kata Imam Al-Ghazali bahwa “Orang yang bahagia adalah orang yang mengenali dirinya sendiri”. Kenapa kita tidak bisa mengenali diri sendiri terkadang hal itu dikarenakan tertutup oleh hasrat dan hawa nafsu, oleh kengininan menjadi dikenal dan terkenal. “Bro, gua tau dan kenal kog siapa diri gua, apa mau gua, apa yang harus gua lakukan”. Boleh saja kita berkata seperti itu, tapi coba kita renungkan dan lepaskan segala hasrat dan hawa nafsu kita, lalu tanyakan pada diri kita, apakah kita benar-benar telah menjadi diri kita yang sebenarnya. Seperti analogi cermin yang dipopulerkan oleh Imam Al Ghazali bahwa “semakin nafsu menguasaimu semakin gelap cerminmu”. Ketika bercermin, dan terdapat titik-titik hitam pada cermin kita, dan kita berfokus pada titik-titik hitam yang sedikit itu tapi tidak melihat sisi cermin lain yag tidak ada titik hitamnya, maka kita belumlah mengenal diri kita, bersihkanlah dahulu titik-titik hitam itu agar kita bisa melihat cermin diri kita secar utuh.
Semakin kita tidak dikenal dan terlindungi dari topeng kemasyhuran, maka kita akan semakin berkembang sebagai diri kita sendiri pastinya. Hidup tidak dikenal bukan berarti kita harus melarikan diri dan menutup diri, tapi dengan terbiasa hidup tidak dikenal kita akan terbiasa mampu berefleksi tentang hidup dan yang paling penting kita akan mampu melepaskan diri dari habit (kebiasaan) yang tidak baik dan tidak berguna, tidak terpengaruh hoaks-hoaks dunia maya dan dunia nyata. Untuk mengenali diri kita sendiri adalah dengan cara berusaha menghilang dari pemikiran-pemikiran orang lain, serta melakukan muhasabah diri agar bisa membersihkan diri dari nafsu-nafsu yang menguasai.
“Nothing strengthens authority so much as silence”
Yang paling kuat adalah kediaman keheningan
-Leonardo Da Vinci
Bahwa hidup bahagia itu dengan tidak terlalu banyak terpengaruh oleh lingkungan sekitar kita. Menurut Da Vinci “kalau engkau sendiri maka engkau akan memiliki dirimu sepenuhnya, kalau engkau ditemani satu orang maka engkau hanya akan memiliki dirimu setengahnya bahkan kurang”. Momen kesendirian itu penting karena dalam kesendirian kita akan mampu menjadi diri kita sendiri sepenuhnya. Hal ini sangat relevan dalam menjalani hidup di zaman media sosial saat ini, zaman dimana kita tidak bisa membedakan antara dunia maya dan dunia nyata.
Dalam hidup ini cobalah untuk mencari momen-momen kesendirian agar kita mampu menyelami diri kita sendiri, mengenal diri kita sendiri sehingga nanti kita bisa mewujudkan ke-otentik-an diri kita sendiri.
Seneca pernah menuliskan nasihat tentang pentingnya bagi kita dalam hidup sebagai makhluk sosial “Kita harus ekstra hati-hati dalam memilih orang, dan memutuskan apakah mereka layak untuk berbagi (waktu) hidup dengan kita”.
Ada beberapa tips berurusan dengan orang lain dari Marcus Aurelius yang diambil dari buku nya Meditation :
- Mempercayai bahwa orang lain didorong oleh apa yang mereka percayai, dan bahwa mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan;
- Jika yang mereka lakukan benar, tidak ada alasan bagi kita untuk mengeluh. Jika apa yang mereka lakukan adalah keliru, (menyadari) bahwa mereka tidak melakukannya dengan sengaja, tetapi lebih karena ketidaktahuan (ignorance). Tidak ada orang yang mau disebut “tidak adil”, sombong, atau “serakah”, atau apapun sebutan yang mengesankan bahwa mereka bukan anggota masyarakat yang baik;
- Ingatlah bahwa kita sendiri melakukan banyak kesalahan. Kita tidak berbeda dari mereka. Bahkan jika kita berhasil menghindari melakukan kesalahan saat ini, kita masih memiliki potensi kesalahan di masa depan;
- Jika kita mengganggap orang lain melakukan kesalahan, kita belum tentu tahu dengan pasti bahwa itu suatu kesalahan. Apa yang mereka lakukan sering kali hanyalah jalan untuk mencapai tujuan tertentu. Kita harus benar-benar mengerti banyak hal sebelum bisa menghakimi tindakan orang lain;
- Lebih banyak kerusakan ditimbulkan oleh kemarahan dan kesedihan kita daripada hal-hal yang menyebabkan kemarahan dan kesedihan tersebut.